www.fasznews.com -
Munculnya banyak
petisi yang diajukan oleh kalangan akademisi perguruan tinggi menambah
eskalasi politik semakin tinggi. Beberapa perguruan tinggi seperti UI, UGM, Universitas Hasanuddin,
Universitas Andalas, UII, dan UMY menyatakan sikap mengkritik pemerintahan Jokowi yang dianggap
tidak netral dan menodai demokrasi. Pemicu awal yang dianggap menodai
demokrasi adalah saat putusan Mahkamah Konsistusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023 yang
dinilai konstroversial.
Sejumlah pihak
akademisi dengan tegas meyatakan kritikan terbuka yang disampaikan oleh UII dan
langsung ditandatangani oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid. Selain UII,
sejumlah sivitas akademika UGM yang menamakan dirinya ‘Bulaksumur’ juga
menyampaikan keprihatinan mendalam atas tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip
moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Jika dibandingkan
dengan pemilu sebelumnya tahun 2019 yang dianggap sebagai era transisi
demokrasi, di mana pemilu tahun 2019 dianggap sebagai penanda 20 tahun
kebangkitan demokrasi Indonesia sejak berakhirnya era otoriter Orde Baru. Dua
puluh tahun silam dan baru pada tahun 2019 Indonesia benar-benar mengenal
demokrasi riil, setelah sekian lama pada masa orde baru di bawah pemerintahan
yang otoritarianisme.
Dalam hitungannya sejak
tahun 1999-2024, demokrasi dan politik Indonesia mengalami evolusi yang
ditandai dengan dengan 6 kali pemilu legislatif yaitu 1999, 2004, 2009, 2014,
2019, dan 2024 serta 5 kali pemilu residen dan wakil presiden yaitu 2004, 2009,
2014, 2019, dan 2024.
Hal yang tidak dapat
dilupakan dan memang harus diakui bahwa pemilu 2019 menjadi tonggak penting
dalam pembelajaran berdemokrasi, pemilu 2019 membuka mata kita semua terhadap
hak kita untuk dapat melaksanakan kedaulatan rakyat secara langsung. Begitu
banyak permasalahan timbul pada saat pemilu 2019, termasuk hoax
(pembunuhan karakter dengan isu PKI), fitnah yang mengatasnamakan agama
(politik identitas), sehingga hal yang tidak dapat dilupakan pada saat itu
adalah istilah “cebong” dan “kampret” sebagai representatif dua kubu yang
sedang berkontestasi politik.
Masyarakat terkesan
berperang melalui media sosial dengan penyebutan “cebong” dan “kampret” dan hal
ini membawa angin permusuhan sampai dengan pada ranah kecil, seperti keluarga,
tetangga, sejawat dan kolega. Bangsa ini harus masih belajar dan terus melakukan
evolusi menuju kematangan sistem demokrasi. Rakyat sebagai kekuasaan tertinggi,
sudah selayaknya teredukasi dengan informasi-informasi yang bijak.
Pada pemilu 2024 ini
bangsa Indonesia dihadapkan pada situasi demokrasi yang lebih terbuka dalam
penyampaian aspirasi, kritik, dan pendapat. Dan ini sudah terlaksana 10 tahun
terakhir, sejak pemilu 2019. Masyarakat sekarang ini memperoleh hak untuk
menyampaikan pendapat secara lebih bebas, termasuk halnya penyampaian kritik
kepada pemerintah yang tidak kita jumpai pada 20 tahun yang lalu, saat kita
mengalami pemberangusan demokrasi tanpa kita sadari.
Berkaitan dengan
maraknya petisi yang cenderung menyalahkan Presiden Jokowi, karena
netralitasnya dipertanyakan oleh banyak kalangan atas nama akademisi, maka dilakukan
wawancara dengan Moch. Fauzie Said, pakar dan pengamat politik dari Universitas
Brawijaya yang menyampaikan, “Semua sekarang ini punya potensi untuk melakukan
tindakan kecurangan, jangan sampai semua dibebankan kepada Jokowi, terkait
dengan persoalan Gibran, keputusan MK kalau memang itu dianggap sebagai
kelemahan, yang sudah harus diakui kelemahan, nah sekarang ini berkembang
isunya perguruan tinggi mencoba ramai-ramai menegakkan pemilu yang adil dan
transparan yang dilakukan oleh oknum-oknum perguruan tinggi, tetapi tindakan
untuk menurunkan Jokowi ini adalah tidak benar, semua tindakan yang dilakukan
adalah tindakan politis, hal ini yang menyebabkan suasana tidak kondusif, oleh
karena itu perguruan tinggi harus hati-hati, jangan sampai terjebak dalam
politik praktis, sehingga makin membuat kondisi perpecahan.”
Menyikapi hal ini, maka
sebenarna pihak perguruan tinggi yang dianggap pihak paling netral untuk lebih
memberikan edukasi dan menyebarkan kesejukan pada pemilu sangat diharapkan,
namun demikian keterbukaan era yang sudah berbeda untuk pemilu kali ini menjadikan
semua menyuarakan haknya dengan lantang. Atas nama akademisi dengan “bandrol”
institusi perguruan tinggi mengklaim bahwa petisi yang diajukan adalah
repreentatif dari lembaga. Hal inilah yang sangat disayangkan. Padahal mungkin
saja sebagian ada yg setuju dan tidak setuju, dan jika atas nama institusi
biasanya dilakukan melalui keputusan rapat senat atau keputusan hasil rapat yang
diakui secara kelembagaan.
Kegaduhan kembali muncul
ketika presiden Jokowi secara terang-terangan memberikan dukungan kepada salah
satu paslon pemilu. Presiden dianggap tidak netral dalam menjalankan hak
demokrasinya. Walaupun hal ini secara jelas telah diatur oleh undang-undang
bahwa sesuai dengan Undang-undang no. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(Pemilu) dalam Pasal 299, 300 dan 302. Dalam undang-undang tersebut djelaskan
bahwa presiden, wakil presiden, dan pejabat negara diperbolehkan untuk
berkampanye sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara.
Polarisasi yang terjadi
selama masa kampanye semakin menyudut. Masing-masing paslon memberikan reasoning
melalui juru bicara (jubir) untuk memberikan “pembenaran” atas apa yang
dilakukan oleh paslon yang dibelanya. Kontestasi politik yang sedang terjadi
tetap diharapkan memberikan vitamin guna pelaksanaan demokrasi yang menyehatkan,
bukan menyesatkan. Rakyat harus cerdas menyikapi gelombang informasi yang
datangnya dari berbagai arah. Suara yang nantinya diberikan adalah penentu
nasib Indonesia dalam 5 tahun mendatang. (adf)